|

Streaming Radio Suara Landak

Yayasan IJMI Soroti Praktik Kerja Paksa dan Pelanggaran Hak Buruh Sawit di Kalbar

Pontianak (Suara Landak) – Di balik gemerlap kontribusi Kalimantan Barat sebagai salah satu lokomotif sawit nasional, Yayasan Integritas Justitia Madani Indonesia (IJMI) menyoroti sisi kelam industri tersebut: praktik kerja paksa dan pelanggaran hak-hak dasar buruh sawit yang masih marak terjadi. Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif IJMI, Try Harysantoso, dalam keterangannya pada Senin (21/4/2025).

“Kalimantan Barat memiliki potensi luar biasa sebagai produsen kelapa sawit yang besar, tetapi kita tidak boleh mengabaikan fakta bahwa masih banyak pekerja sawit yang belum mendapatkan hak dasarnya. Mereka berhak bekerja dalam kondisi yang aman, adil, dan manusiawi,” ujar Try.

Pada tahun 2023, industri sawit tercatat menyumbang sekitar Rp 88 triliun bagi negara melalui sektor perpajakan, penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dan bea keluar. Namun, kontribusi besar ini ternyata belum sejalan dengan perlindungan dan kesejahteraan bagi para buruh di lapangan.

Try menekankan bahwa hak-hak pekerja sawit meliputi upah layak, jam kerja yang manusiawi, akses terhadap layanan kesehatan dan keselamatan kerja, serta kebebasan menyampaikan aspirasi secara aman—yang seharusnya dijamin dalam kontrak kerja tertulis dan disepakati kedua belah pihak.

Senada dengan hal tersebut, Direktur Eksekutif Lembaga Teraju Indonesia, Agus Sutomo, mengungkapkan temuan lapangan mengenai buruh harian lepas (BHL) yang paling rentan terhadap pelanggaran ketenagakerjaan.

“Buruh harian lepas seringkali tidak mendapatkan jaminan kesehatan, ketenagakerjaan, Tunjangan Hari Raya (THR), bahkan hak pesangon jika terjadi pemutusan kerja. Status mereka yang tidak tetap membuat posisi tawar mereka sangat lemah,” ungkap Agus.

Ia juga menyoroti kondisi perempuan buruh sawit yang bekerja tanpa Alat Pelindung Diri (APD) yang layak, serta enggan menuntut hak cuti haid atau melahirkan karena takut kehilangan pekerjaan.

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Barat, Hermanus, tak menampik masih adanya pelanggaran tersebut. Ia mengakui dari total 438 perkebunan sawit di 12 kabupaten/kota di Kalbar, belum semua perusahaan mematuhi norma ketenagakerjaan dan aturan keselamatan kerja (K3).

“Kami terus melakukan pembinaan, baik secara edukatif, non-justisia maupun langkah represif untuk menekan pelanggaran. Kepatuhan terhadap norma kerja adalah kunci bagi industri ini untuk tumbuh secara berkelanjutan,” ujarnya.

Buruknya infrastruktur dan dampak perubahan iklim turut memperparah kondisi kerja. Saat banjir melanda kebun, banyak buruh tetap dipaksa bekerja tanpa perlindungan yang memadai, karena sistem kerja harian membuat mereka tidak dibayar jika tidak bekerja.

Merespons hal ini, Yayasan IJMI menegaskan pentingnya reformasi menyeluruh mulai dari proses rekrutmen yang transparan, penciptaan lingkungan kerja aman, hingga penyediaan mekanisme pelaporan yang mudah dan aman bagi buruh.

“Kami tengah membangun sistem pelaporan yang ramah dan berkelanjutan, agar suara pekerja benar-benar bisa didengar tanpa rasa takut. Ini adalah langkah penting menuju industri sawit yang adil dan berdaya saing tinggi,” tutup Try.[SK]

Bagikan:
Komentar Anda

Berita Terkini