Suara Landak - Dilansir dari VOA, Band remaja perempuan “Pretty Loud” menyarankan para perempuan untuk mencari cinta, melawan dan mempertahankan hak mereka agar setara dengan laki-laki.
Melalui lagu-lagunya, band itu menyokong pemberdayaan perempuan di dalam komunitas mereka, menantang tradisi yang sudah mengakar dan didominasi oleh laki-laki selama berabad-abad.
Band yang didirikan pada tahun 2014 itu secara simbolis memberikan suara yang lebih keras bagi gadis-gadis Gipsi Serbia, mendorong pendidikan dan menjauhkan diri dari adat menikah dini yang sudah mengakar.
“Pretty Loud” menjadi populer dan menarik perhatian internasional saat tampil tahun lalu di the Women of the Year Festival di London.
"Kami ingin menghentikan praktik pernikahan dini. Kami ingin remaja perempuan sendiri, bukan orang tua mereka, yang memutuskan apakah mereka ingin menikah atau tidak. Kami ingin setiap perempuan memiliki hak untuk didengar, untuk memiliki impian dan mencapai impian itu, dan memiliki kesetaraan," ujar Silvia Sinani, salah seorang anggota band .
Sinani mengatakan, ide untuk mendirikan band yang semua anggotanya adalah perempuan itu tercetus pada saat lokakarya pendidikan dan seni untuk kaum Gipsi, yang diselenggarakan oleh yayasan Grubb (Gypsy Roma Urban Balkan Beats).
Ia menambahkan, semua perempuan yang menjadi anggota band itu, awalnya menjadi penari latar sebuah band remaja laki-laki. Mereka akhirnya memutuskan untuk mendirikan band sendiri.
Yayasan Grubb memberi nama band ini “Pretty Loud” karena mereka tahu bahwa dalam tradisi kaum Gipsi, perempuan tidak dapat bersuara terlalu keras.
Dengan menggabungkan rap dan irama tradisional ,Gipsi band itu menargetkan generasi yang lebih muda, khususnya remaja perempuan yang belum menentukan pilihan hidup mereka.
Pasangan kembar yang berusia 14 tahun juga menjadi anggota band tersebut.
Lagu-lagu mereka membahas posisi perempuan dan berupaya untuk meningkatkan kepercayaan diri mereka.
Upaya itu penting bagi komunitas di mana praktik pernikahan dini sudah meluas. Sebuah studi UNICEF yang dipublikasikan tahun lalu memperlihatkan bahwa lebih dari sepertiga anak perempuan Gipsi berusia 15-19 tahun yang tinggal di Serbia, sudah menikah. Sebanyak 16 persen di antaranya sudah menikah sebelum berusia 15 tahun.
Otoritas Serbia yang khawatir, membentuk sebuah komisi negara untuk menghentikan tren tersebut.
Zlata Ristic, 27 tahun, salah seorang anggota band itu, melahirkan seorang bayi laki-laki saat ia berusia 16 tahun.
"Saya termasuk orang yang melakukan pernikahan dini. Tidak ada yang memaksa saya, namun saya menyadari, saya seharusnya tidak melakukannya," katanya.
Kini sebagai orang tua tunggal, Ristic mengatakan, ia ingin perempuan lain yang berada dalam situasi serupa, menyadari bahwa kehidupan mereka tidak berakhir setelah mereka memiliki anak. Mereka masih dapat meraih cita-cita mereka.
"Hadiah terbesar bagi saya adalah ketika beberapa remaja perempuan berusia 14 tahun menulis kepada saya dan mengatakan, mereka ingin menjadi seperti kami. Dan berkat kami, mereka kini bersekolah, nilai sekolah mereka juga membaik," kata Ristic.
Di antara komunitas etnik yang kurang mampu di Serbia dan meluas di Eropa, orang Gipsi kebanyakan tinggal di permukiman yang terpisah dari masyarakat, menghadapi kemiskinan, pengangguran dan prasangka.
Para aktivis telah memperingatkan bahwa pandemi COVID-19 semakin memicu isolasi sosial kelompok yang terpinggirkan ini dan meningkatkan kemiskinan mereka.
Penutupan wilayah akibat virus corona telah membuat sekolah-sekolah tidak dapat berjalan dengan lancar sehingga anak-anak Gipsi semakin sulit untuk tetap bersekolah.
Sumber : VOA