Suara Landak - Dilansir dari VOA, ada satu faktor yang tak terduga ketika nanti kembali ke kehidupan sebelum pandemi, yaitu banyak pekerja yang tidak ingin kembali menekuni pekerjaan lamanya. PHK dan lockdown, ditambah lagi dengan adanya tunjangan pengangguran dan paket cek stimulus, memberi waktu bagi warga Amerika dan bantuan keuangan untuk memikirkan kembali karier mereka.
Tempat kerja mereka yang dulu kembali membuka lowongan. Sebagian perusahaan seperti Uber dan McDonald’s menawarkan gaji yang lebih tinggi. Namun, para pekerja ini tetap merasa ragu.
Seorang warga Amerika, Nate Mullins, berhenti dari pekerjaannya sebagai bartender November lalu, setelah berselisih dengan manajer mengenai aturan penggunaan masker. Ia tinggal bersama saudara perempuannya, yang memiliki sistem imun tubuh yang lemah. Ia khawatir dapat menyebarkan virus corona kepadanya.
Tunjangan pengangguran Nate tidak sebanding dengan pendapatannya ketika bekerja di bar Oak Harbor, di Washington. Namun, penghasilannya cukup untuk menutup pengeluaran, sembari ia mencari pekerjaan yang menyediakan layanan kesehatan dan tunjangan pensiun.
Kepada Associated Press, Nate yang berusia 36 tahun menambahkan, kesempatan yang ia peroleh untuk mundur sejenak dan benar-benar memikirkan apa yang ia lakukan, telah mengubah pikirannya.
“Untuk pertama kalinya, hal ini telah membuat saya berpikir untuk jangka panjang,” ujar Nate.
Menurut Nate, ini adalah kesempatan yang baik untuk mempertimbangkan sebuah pergantian karier.
“Saya tengah mencari beberapa pekerjaan lain, di pemerintah dan yang memiliki serikat kerja, yang lebih sulit didapat. Untungnya, saya sekarang punya waktu untuk berusaha mencari pekerjaan-pekerjaan tersebut,” tambahnya.
Walau kini belum memiliki pekerjaan, Nate masih bisa bertahan dengan uang dari tunjangan pengangguran.
“Ini bisa memberi saya semacam kesempatan untuk menyusun rencana ke depan,” katanya.
Warga Amerika, Sarah Weitzel melahirkan anak ke-2nya pada Februari 2020. Ia tengah dalam masa cuti melahirkan dari pekerjaannya, sebagai manajer di toko pakaian dalam Victoria’s Secret di St. Louis, ketika pandemi mengacaukan kehidupannya.
Ia menerima pesan SMS yang mengatakan bahwa ia dirumahkan. Lalu suami Sarah yang bekerja di sebuah restoran di PHK. Mengalami kesulitan keuangan, mereka lalu menjual rumah, pindah ke rumah teman-temannya, dan bertahan hidup dengan asuransi pengangguran dan terjerumus ke dalam hutang.
Pada musim gugur, Victoria’s Secret menawarkan Sarah pekerjaan paruh waktu dengan gaji 12 dolar atau sekitar 171 ribu rupiah per jam. Namun, ia menolaknya. Ia dan suaminya yang kini bekerja dengan jam kerja yang panjang di sebuah restoran tidak mampu membayar pengasuh anak.
“Walau dengan penghasilan saya sebagai manajer di Victoria’s Secret, saya tetap tidak mampu membayar pengasuh untuk dua anak di bawah tiga tahun. Apalagi dengan posisi paruh waktu yang ditawarkan dengan gaji 12 dolar atau 171 ribu rupiah per jam. Sudah pasti uang saya akan habis, jika harus memasukkan kedua anak saya ke tempat penitipan anak,” ujar Sarah kepada Associated Press.
Sarah lalu diterima di sebuah program bernama Run for Woman di St. Louis, yang menawarkan pembinaan dan pelatihan karier untuk pekerjaan dengan permintaan tinggi, termasuk di bidang perbankan, layanan kesehatan, layanan pelanggan, dan teknologi.
Lebih dari 950 perempuan mendaftarkan diri untuk 117 slot yang ada dalam program tersebut selama pandemi.
“Menjadi Ibu seperti menghentikan karier saya yang dulu. Saya merasa tidak bisa menjadi seorang Ibu dan tetap bekerja di sektor ritel,” kata Sarah.
Saat musim gugur nanti ketika anak perempuan tertuanya mulai masuk TK, Sarah berharap bisa mendapatkan pekerjaan paruh waktu dalam karier barunya.
Warga Amerika, Shelly Ortiz, yang berusia 25 tahun dulu mencintai kariernya sebagai pelayan restoran. Namun semuanya berubah bulan Juni lalu, ketika restoran Phoenix tempatnya bekerja membuka kembali ruang makannya. Ia mengenakan dua masker dan kacamata untuk melindungi dirinya, namun tetap merasa cemas berada di restoran yang penuh dengan pelanggan tanpa masker. Ia hampir tidak pernah makan atau minum saat bekerja.
Pelecehan seksual pun juga semakin parah, katanya. Pelanggan memintanya untuk menurunkan maskernya, supaya mereka bisa melihat seberapa cantik dirinya, sebelum memberi tip.
“Saya telah mengalami banyak pelecehean seksual (ketika bekerja) di industri pangan, tapi hal ini bertambah buruk di masa pandemi,” cerita Shelly kepada Associated Press.
Shelly berhenti kerja bulan Juli, setelah ia mengetahui bahwa restoran tersebut tidak membersihkan bar setelah seorang bartendernya berpotensi terkena virus corona.
“Tunjangan pengangguran yang saya terima lebih banyak dibandingkan penghasilannya dalam satu minggu yang sibuk dulu. Kini, saya bisa menggunakan waktu saya untuk memikirkan langkah-langkah yang bisa diambil untuk mengembangkan diri,” ujar Shelly.
Ia dan partnernya yang adalah seorang guru, membatasi pengeluaran mereka dan menemukan berbagai cara agar Shelly bisa kembali meneruskan pendidikan secara penuh waktu.
“Bagus kalau saya bisa mendapat pekerjaan (selama menempuh pendidikan). Tapi jika tidak, saya bisa mengatasinya,” katanya.
Bulan Mei, ia lulus dari Glendale Community College dengan gelar di bidang film dan sertifikat penyutradaraan film dokumenter.
Shelly berhenti mendapatkan tunjangan pengangguran bulan November lalu, ketika ia mendapatkan pekerjaan paruh waktu di dunia film.
Katanya, tabungannya ketat. Tetapi, ia tak pernah merasa bahagia seperti sekarang ini. Tak terpikir bahwa ia akan menjadi pelayan restoran lagil.
Para pekerja seperti Nate, Sarah, dan Shelly adalah penyebab lambannya perekrutan di Amerika Serikat pada April. Beberapa majikan dan kelompok bisnis, termasuk Kamar Dagang Amerika Serikat, menyerukan penghentian tunjangan pengangguran federal sebesar 300 dolar atau sekitar 4,2 juta rupiah per minggu, yang dikatakan telah memberikan para penerima lebih sedikit insentif untuk mencari pekerjaan.
Sumber : VOA